Oleh: Rafli Marwan
A. Perubahan Makna
Leksikal
Setiap kata
mempunyai makna leksikal, yakni makna yang secara inheren terdapat di dalam
kata. Menurut Verhaar (1978, dalam Chaer, 2007:138) makna kata ini secara
sinkronik, dalam waktu yang relatif singkat tidak akan berubah; tetapi secara
diakronik, yakni dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan bisa berubah.
Perubahan terjadi sebagai akibat dari penggunaannya, bisa bersifat total,
berubah menyempit, atau berubah meluas.
Menurut Suhardi
(2015:117) Perubahan makna adalah gejalah pergantian rujukan dari simbol bunyi
yang sama. ini berarti dalam konsep perubahan makna terjadi pergantian rujukan
yang berbeda dengan rujukan semula.
Berdasarkan
penjelasan di atas maka, menurut penulis, perubahan makna leksikal adalah
gejala pergantian makna kata yang baru dari makna kata yang dahulu berdasarkan
kurun waktu tertentu.
Berbagai
referensi semantik telah membahas perubahan makna, tetapi bukan berarti telah
mencakup secara keseluruhan karena mengingat pengguna bahasa yang semakian
kreatif dalam berbahasa, semakin berkembang pula makna-makna bahasa terutama
pada makna kata. Olehnya itu, pembahasan ini akan penulis menyelidiki perubahan
makna leksikal dewasa ini dengan cara berikan contoh-contoh disertai
penjelasannya secara deskriptif. Tak lupa pula, penulis menyertakan
contoh-contoh yang sudah terlebih dahulu dibahas untuk menguatkan tulisan ini.
Tarigan
(2009:78) menjelaskan ada enam jenis perubahan makna leksikal yaitu: (1)
Generalisasi atau perluasan; (2) Spesialisasi atau penyempitan; (3) Ameliorasi
atau peninggian; (4) Peyorasi atau penurunan; (5) Sinestesia atau pertukaran;
dan (6) Asosiasi atau persamaan.
1.
Generalisasi
Generalisasi
atau perluasan adalah suatu proses perubahan makna kata dari yang lebih khusus
kepada yang lebih umum, atau dari yang lebih sempit kepada yang lebih luas.
Dengan kata lain, bahwa cakupan makna pada masa kini lebih luas daripada makna
pada masa lalu. Secara lebih singkat, makna baru lebih luas daripada makna lama
atau makna dulu (Tarigan, 2009:79).
Contoh:
‘Kitab suci
adalah fiksi’. Pernyataan ini diucapkan oleh Rocky Gerung di Acara ‘Indonesia
Lawyers Club” yang ditayangkan stasiun TVOne (10/04/08). Apa makna dari kata
‘fiksi’ dari pernyataan di atas yang menyandingkannya dengan ‘kitab suci’? Menurut
Rocky, ‘fiksi’ itu kata benda (nomina), literatur. Kata benda atau literatur
inilah Rocky menghubungkannya dengan fiksi. Dan dengan dasar itulah beliau
mengatakan fungsi dari fiksi adalah untuk mengaktifkan imajinasi. Artinya
menusia berimajinasi tentang masa depan hidupnya berdasarkan kitab suci itu. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa kata fiksi tidak artikan sebagai sesuatu yang
dibangun atas dasar khayalan manusia, melainkan didasarkan atas kenyataan. Berbeda
dengan pengertian di atas, dalam KBBI luring memaknai fiksi cerita rekaan,
khayalan, tidak bersifat nyata. Berdasarkan penjelasan di atas, maka makna kata
‘fiksi’ lebih luas daripada makna yang selama ini kita ketahui.
Pateda (2010: 184)
memberikan contoh-contoh disertai penjelasan mengenai makna generalisasi,
sebagai berikut:
Kata-kata
‘bapak, ibu, saudara’ dahulu digunakan untuk menyebut orang yang betalian darah
dengan kita. Kata ‘saudara’ dihubungkan dengan kakak atau adik yang seayah dan
seibu dengan kita. Kata ‘bapak’ selalu dihubungkan dengan orang tua laki-laki,
dan kata ‘ibu’ selalu dihubungkan dengan orang tua perempuan. Kini kata ‘bapak,
ibu, saudara’ telah meluas maknanya, meskipun tidak ada hubungan atau pertalian
darah dengan kita. Kita bisa mengatasnamakan ‘saudara-saudara yang saya
hormati’, ‘bapak Walikota’, ‘ibu Gubernur Riani. Dengan kata lain, kata-kata
ini menjadi sapaan.
2.
Spesialisasi
Proses
spesialisasi atau pengkhususan penyempitan mengacu kepada suatu perubahan yang
mengakibatkan makna kata menjadi lebih khusus atau lebih sempit dalam
aplikasinya. Kata tertentu pada suatu waktu dapat diterapkan pada suatu
kelompok umum, tetapi belakangan mungkin semakin terbatas atau kian sempit dan
khusus dalam maknanya. Dengan kata lain, cakupan makna pada masa lalu lebih
luas daripada masa kini (Tarigan, 2009:81)
Contoh:
Kata ‘bini’.
Dulu, makna kata ini digunakan untuk apa dan siapa saja yang berhubungan dengan
proses kehamilan; cakupannya umum. Tetapi sekarang makna kata ‘bini’ sudah
bermakna khusus, yaitu khusus digunakan untuk hewan.
Chaer
(2007:135) memberikan contoh, kata ‘sarjana’ dulu memiliki makna orang pandai,
atau ‘cendekiawan’. Tetapi sekarang hanya bermakna ‘orang yang lulus dari
perguruan tinggi. Kini orang yang pandai bagaimanapun apabila tidak pernah
lulus dari sebuah perguruan tinggi tidaklah disebut sarjana. Sebaliknya,
betapapun jeleknya pengetahuan seseorang, kalau lulus dari sebuah perguruan
tinggi, dia disebut sarjana. Contoh lain, kata ‘pendeta’ dulu bermakna ‘orang
yang berilmu’, tetapi sekarang hanya bermakna ‘guru agama Kristen’.
3.
Ameliorasi
Kata ameliorasi (yang berasal dari bahasa latin melior ‘lebih baik’) berarti ‘membuat menjadi lebih baik, lebih
tinggi, lebih anggun, lebih halus’. Dengan kata lain, perubahan amelioratif
mengacu kepada peningkatan makna kata; makna baru dianggap lebih baik atau
lebih tinggi nilainya daripada makna dulu (Tarigan, 2009:83)
Contoh:
Kata ‘istri’ dan ‘bini’. Kedua kata ini memiliki makna yang sama yaitu
wanita yang sudah dinikahi, atau wanita yang sudah bersuami. Tetapi, penggunaan
kata ‘bini’ di masa kini dianggap rendah nilainya dibanding ‘istri’. Dengan
kata lain, kata ‘istri’ lebih tinggi, lebih anggun, dan lebih halus digunakan.
Selanjutnya kata ‘hamil’ dan ‘bunting’. Kedua kata ini memiliki makna yang sama
yaitu perempuan dalam keadaaan mengandung anak dalam perutnya. Tetapi sekarang,
kata ‘bunting’ tidak boleh digunakan untuk menyandingkan dengan wanita
(manusia), tetapi disandingkan adalah kata ‘hamil’.
Contoh selanjutnya, kata ‘mati’. Dahulu, kata ‘mati’ tidak begitu
dipersoalkan untuk disandingkan secara umum. Tetapi sekarang kata ‘mati’ tidak cocok
disandingkan dengan manusia, sehingga digantikan dengan kata ‘meninggal’.
Karena kata ‘meninggal’ dinilai lebih tinggi dan lebih halus.
4.
Peyorasi
Peyorasi adalah
suatu proses perubahan makna kata menjadi lebih jelek atau lebih rendah
daripada makna semula. Kata ‘peyorasi’ berasal dari bahasa Latin ‘pejor’ yang
berarti ‘jelek’, buruk. Sebagai contoh, kita ambil kata ‘tuli’ yang dulu tidak
dirasakan mengandung makna jelek, tetapi pada masa kini dirasakan kurang baik,
kurang sopan, dan terasa kasar (Tarigan, 2009:85)
Contoh:
Kata ‘penjara’.
Penjara adalah tempat orang-orang menjalani hukuman. Makna ‘penjara’ itu
tidaklah menjadi persoalan, hanya saja, setiap orang yang mendengar kata
‘penjara’ pasti yang disandingkan adalah ‘kekerasan’. Sehingga bernilai kurang
baik. Dengan demikian, muncullah kata ‘lembaga kemasyarakatan’ sebagai
pengganti kata ‘penjara’.
Contoh
selanjutnya, kata ‘bunting’. Dahulu kata ‘bunting’ dianggap biasa saja atau sah
secara umum. Tetapi sekarang dianggap buruk apabila disandingkan dengan
manusia. misalnya kalimat ‘perut istrimu sudah bunting ya?’.
5.
Sinestesia
Sinestetia
adalah perubahan makna yang terjadi akibat pertukaran tanggapan antara dua
indera yang berbeda (Tarigan, 2009:88)
Di dalam
penggunaan bahasa banyak terjadi kasus pertukaran tangapan indera. Contoh, kata
‘pedas’ dan ‘manis’ yang seharusnya ditanggapi oleh alat perasa lidah menjadi
ditanggapi oleh telinga seperti tampak dalam kalimat ‘kata-katanya cukup pedas’
atau ‘ucapannya memang terdengar manis’. Selanjutnya, kata ‘kasar’ yang
seharusnya ditanggapi oleh alat perasa pada kulit menjadi ditanggapi oleh alat
indera mata seperti dalam kalimat ‘tingkah lakunya tampak kasar’; atau bisa
juga ditanggapi oleh alat indera telinga seperti dalam kalimat ‘kata-katanya
memang kasar. Contoh lain, ‘warnanya sejuk sekali; sikapnya
dingin kepadamu; suaranya terasa berat; lukisannya itu sangat ribut;
bentuknya memang manis (Chaer, 2007:144). Inilah yang disebut sinestetia.
6.
Asosiasi
Asosiasi adalah
perubahan makna yang terjadi sebagai akibat persamaan sifat (Tarigan, 2009:90).
Lebih rinci, Selamet
Muljana (1964:25, dalam Pateda, 2010:178) mengatakan, yang dimaksud dengan
asosiasi adalah hubungan antara makna asli, makna di dalam lingkungan tempat
tumbuh semula kata yang bersangkutan dengan makna yang baru; yakni makna di
dalam lingkungan tempat kata itu dipindahkan ke dalam pemakian bahasa. Antara
makna lama dan maknanya yang baru terdapat pertalian erat. Makna leksikal kata
asosiasi yakni: 1) persatuan antara rekan usaha; persekutuan dagang; 2)
perkumpulan orang yang mempunyai kepentingan bersama; 3) tautan dalam ingatan
pada orang atau barang lain; pembentukan hubungan atau pertalian antara
gagasan, ingatan, atau kegiatan pancaindera (Depdikbud, 1993:61, dalam Pateda,
2010:179)
Contoh:
Asosiasi yang
berhubungan atau pertalian gagasan, dan ingatan. Mengingatkan penulis pada kata
‘mari’. Kata ‘mari’ bermakna seru untuk menyatakan ajakan. Misalnya ‘mari ikut
saya!’. Tetapi kata ‘mari’ yang diasosiasikan masyarakat Jawa adalah ‘permisi’.
Misalnya, ketika sedang berjalan dan dikiri jalan ada orang, maka saya
mengatakan ‘mari, Pak/Bu!’. Atau Ketika saya selesai belanja di kios, dan
ketika mau pergi, saya harus mengatakan ‘Mari Pak/Bu! Makna kata ‘mari’
tersebut merupakan perubahan makna akibat asosiasi, yaitu asosiasi dari
masyarakat Jawa.
Makna asosiasi
dapat dihubungkan dengan tempat atau lokasi. Contoh, saat kita berada kampus
Pascasarjana UNNES (Universitas Negeri Semarang), dan tiba-tiba salah satu
teman mengajak dengan berkata ‘Yuk, kita ke kampus Sekaran!’, pasti kita
mengetahui maksud ‘kampus sekaran’ yaitu Kampus UNNES yang berada di kelurahan
Sekaran. Jadi maksud tidak mengacu ke tempat tetapi apa yang ada di sana.
Inilah yang disebut makan asosiasi. Lain hal jika teman kita yang bukan
Mahasiswa UNNES atau dengan kata lain tidak berasosiasi dengan kita, pasti
kebingungan mendengar “kampus Sekaran”.
Makna asosiasi
dapat dihubungkan warna. Contoh, ketika kita berkedara, kemudian diperempatan
jalan terdapat lampu lalu lintas berwarna merah, maka kemerahan itu bermaksud
bahwa kita harus berhenti. Selanjutnya, jika kita melewati sebuah rumah yang
berkumpul banyak orang dan di depan rumah itu terdapat bendera putih, maka
bendera putih itu bermaksud ada yang meninggal.
Pateda (2010:
179) memberikan contoh-contoh disertai penjelasan mengenai makna asosiasi,
sebagai berikut:
Dalam BI
(Bahasa Indonesia) terdapat kata ‘amplop’. Kalau kita mengurus sesuatu di
kantor dan kemudian teman kita berkata ‘ beri dia amplop’ maka asosiasi kita
bukan lagi amplop yang berfungsi sebagai sampul surat, tetapi ‘amplop’ yang
berisi uang; uang pelacur, uang pelicin, uang sogok. Menurut Chaer (2013:135),
asosiasi antara ‘amplop’ dan ‘uang’ ini adalah berkenaan dengan wadah. Jadi,
menyebut wadahnya yaitu amplop, tetapi maksud adalah isinya, yaitu uang.
Secara kasar teman
kita itu berkata, ‘berilah dia uang agar urusanmu segera selesai’. Selanjutnya,
kalau kita makan di warung, sering kita berkata ‘sepiring lagi’ atau ‘segelas
lagi, Bu!’ yang kita maksud bukan piring atau gelas tanpa isi, tetapi yang kita
maksud adalah nasi, bakmi, nasi goreng, atau gado-gado, sesuai dengan makanan
yang kita pesan; dan kalau dihubungkan dengan gelas, maka yang kita maksud adalah
es, kopi atau teh, sesuai dengan minuman yang lebih dahulu kita pesan. Di sini
terjadi asosiasi antartempat dan isi. selain itu, makna asosiasi dapat
dihubungkan dengan waktu atau peristiwa. Tanggal 17 Agustus hari bersejarah
bagi bangsa Indonesia. Namun kadang-kadang kita berkata ‘mari kita bertujuh
belasan di Bandung’. Di sini yang dimaksud bukan peristiwanya, tetapi
bergembira, merayakan peristiwa tersebut.
Perubahan makna yang telah dibahas itu, bukanlah hal yang kebetulan,
melainkan ada faktor-faktornya. Berdasarkan itu, Ullmann (1972: 198-210, dalam
Pateda, 2010:163-168) mengindentifikasi faktor-faktor perubahan makna sebagai
berikut:
1.
Faktor kebahasaan
Perubahan makna
karena faktor kebahasaan berhubungan dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Misalnya kata “sahaya’ yang pada mula maknanya dihubungkan dengan ‘budak’;
tetapi karena berubah menjadi saya, maka kata selalu dihubungkan dengan orang
pertama terhormat, contohnya dalam kalimat ‘saya akan pergi ke kampus’. Orang
tidak menghubungkan dengan kata budak. Dengan kata lain, makna berubah.
2.
Faktor kesejarahan
Faktor
kesejarahan dapat dirinci karena: (1) faktor objek; (2) faktor institusi; (3)
faktor ide; (4) faktor konteks ilmiah. Perubahan makna karena faktor
kesejarahan berhubungan dengan perkembangan kata. contohnya kata ‘wanita’ yang
sebenarnya berasa dari kata ‘betina’. Kata betina dalam perkembangannya menjadi
‘batina’. Lalu fonem /b/ berubah menjadi /w/ sehingga menjadi wanita. Kata
wanita berpadanan maknanya dengan kata perempuan. Kini, orang tidak
menghubungkan makna kata wanita dengan hewan, tetapi dengan “objek”.
Faktor
institusi, contohnya dalam BI terdapat kata ‘rukun’, seperti urutan kata ‘rukun
tetangga’ dan ‘rukun warga’. Dahulu, urutan kata tersebut dihubungkan dengan
‘kerukunan antara warga’. Kini pengertian itu menjadi institusi resmi. Maknanya
bukan khusus mengenai soal kerukunan, tetapi sudah lebih luas dari itu.
Faktor ide,
contohnya, kata ‘simposium’ idenya untuk bergembira, yakni duduk-duduk di
restoran sambil minum, makan, dan berdansa. Kini ide itu berubah menjadi
pertemuan ilmiah untuk membicarakan sesuatu dalam disiplin ilmu tertentu.
Faktor konsep
ilmiah, contohnya, kata ‘folt’. Dahulu, kata volt dikaitkan dengan nama
penemunya, yakni Allessandro Voltras, orang Italia yang hidup antara tahun
1745-1827. Kini makna itu lebih ditekankan pada satuan potensial listrik yang
diperlukan untuk mengalirkan satu ampere arus listrik melalui satu ohm,
misalnya dalam kalimat ‘voltase aliran listrik di rumahmu harus ditambah.
3.
Faktor sosial
Perubahan makna
yang disebabkan oleh faktor sosial dihubungkan dengan perkembangan makna kata
dalam masyarakat. Contoh, kata ‘gerombolan’ yang pada mula bermakna orang yang
berkumpul atau kerumunan orang, tetapi kemudian kata ini tidak disukai lagi
sebab selalu dihubungkan dengan ‘pemberontak’ atau pengacau.
4.
Faktor psikologis
Perubahan makna karena faktor psikologis dirinci atas: (1) faktor emotif;
(2) kata-kata tabu yang dapat dirinci atas: tabu karena takut, tabu karena
menginginkan kehalusan kata, tabu karena ingin dikatakan sopan.
5.
Pengaruh bahasa asing
Perubahan bahasa yang satu terhadap bahasa yang lain tidak dapat
dihindarkan. Hal itu disebabkan oleh interaksi antara sesama bangsa. Itu
sebabnya pengaruh bahasa asing terhadap BI juga tidak dapat dihindarkan.
Pengaruh itu misalnya berasal dari bahasa Belanda ‘aandeel’ (andil,saham);
‘aanemer’ (anemer, pemborong); ‘belasting (pajak) dll. Selanjutnya, perubahan
makna karena perubahan bahasa asing, contohnya kata ‘keran’ yang berasal dari
bahasa Inggris ‘crank’ yang kemudian dalam BI bermakna keran, pancuran air
leding yang dapat dibuka dan ditutup.
6.
Kebutuhan kata yang baru
Perubahan makna
karena faktor kebutuhan terhadap kata baru dapat dijelaskan dari segi kebutuhan
pemakai bahasa. telah diketahui bahwa pemikiran manusia berkembang terus sesuai
dengan kebutuhannya. Kebutuhan tersebut membutuhkan nama atau kata baru, karena
bahasa adalah alat komunikasi. Kadang-kadang konsep baru itu belum ada
lambangnya. Dengan kata lain, manusia berhadapan dengan ketiadaan kata atau
istilah baru untuk mendukung pemikirannya. Misalnya karena bangsa Indonesia
merasa kurang enak menggunakan kata ‘saudara’ maka muncullah kata ‘anda’.
Selain itu,
Ullmann (1972:192-197, dalam Pateda, 2010:162-163) menyebut beberapa hal
sebagai penyebabnya. Sebagi berikut:
1.
Bahasa itu
berkembang, atau bahasa itu diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam
perkembangan ini makna kata-kata tertentu mengalami perubahan. Contoh, dalam BI
terdapat kata ‘juara’. Dahulu kata ‘juara’ bermakna orang yang memimpin
penyabungan ayam. Kini makna kata juara selalu dihubungkan dengan orang yang
mendapat peringkat dalam perlombaan atau pertandingan.
2.
Kekaburan
makna, atau samar-samar maknanya. Contoh, kata ‘alot’. Apakah makna kata alot?
Kata alot bermakna ‘liat atau tidak,
mudah putus’. Dalam dialek Jakarta, kata alot bermakna keras, kenyal,
misalnya daging, dan dalam bahasa Jawa, kata alot bermakna liat (tentang
daging). Jika dihubungkan makna kata ‘liat’ dengan urutan kata ‘tanah
liat’ kelihatannya tidak sesuai. Dengan
kata lain, makna kata liat samar-samar. Dewasa ini kata ‘alor’ bermakna pula
‘lambat, pelan’, misalnya dalam kalimat ‘ pembahasan rancangan undang-undang
itu alot’. Dalam kata alot dewasa ini dengan kata alot sebelumnya berbeda.
3.
Kehilangan
motivasi, contohnya dalam BI terdapat kata ‘ajang’ yang bermakna ‘tempat untuk
makan’ sesuatu, misalnya piring. Kini, makna kata itu lebih banyak dihubungkan
dengan tempat juga, tetapi bukan untuk makan, contohnya, ‘ajang pertempuaran’.
4.
Adanya
kata-kata yang bermakna ganda. Contohnya, kata ‘lempung’ yang bermakna : (1)
ringan atau lunak dan mudah patah, misalnya kayu; (2) lemah sekali; (2) tidak
berguna sedikitpun.
5.
Dalam konteks
yang membingungkan, contohnya kata-kata yang terdapat dalam kalimat ‘ini baru
mi’. Apakah yang dimaksud menunjuk pada ‘baru mi’, atau ‘inilah mi yang
sesungguhnya?’. Demikian pula kalau orang mengatakan ‘anak anjing Abdullah mati
kemarin’. Siapa yang mati? Dengan kata lain, konteks kalimat ini membingungkan.
6.
Struktur kosa
kata. telah diketahui bahwa bunyi-bunyi suatu bahasa dan sistem sistem
gramatikalnya terbatas , tetapi kata-kata bertambah terus sesuai dengan
perkembangan pemikiran pemakai bahasa. dalam perkembangan kosa kata ini, tentu
saja ada kata baru, tetapi ada pula kata yang hanya berubah maknanya
Simpulan
Perubahan makna leksikal terdiri atas enam jenis yaitu: (1) Generalisasi
atau perluasan; (2) Spesialisasi atau penyempitan; (3) Ameliorasi atau
peninggian; (4) Peyorasi atau penurunan; (5) Sinestesia atau pertukaran; dan
(6) Asosiasi atau persamaan. Selain itu, faktor-faktor perubahan makna leksikal
adalah: (1) Faktor kebahasaan; (2) Faktor kesejarahan; (3) Faktor sosial; (4)
Faktor psikologis; (5) Pengaruh bahasa asing; (6) Kebutuhan kata yang baru.
Daftar Pustaka
Tarigan, Prof. Dr. Henry Guntur. 2009. Pengajaran
Semantik. Bandung: Angkasa
Pateda, Prof. Dr. Mansoer. 2010. Semantik
Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi &
Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Lyons, John. 1995. Pengantar Teori linguistik. Diindonesiakan
oleh Soetikno. Jakarta: Gramedia
Suhardi, M.Pd. 2015. Dasar-Dasar Ilmu Semantik. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media
Chaer, Abdul. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta
Pembaca yang baik meninggalkan komentar (pertanyaan, kritik, saran, tanggapan, dll). terima kasih
BalasHapus