Langsung ke konten utama

Perubahan Makna Leksikal: Kajian Semantik


Oleh: Rafli Marwan

A.  Perubahan Makna Leksikal
Setiap kata mempunyai makna leksikal, yakni makna yang secara inheren terdapat di dalam kata. Menurut Verhaar (1978, dalam Chaer, 2007:138) makna kata ini secara sinkronik, dalam waktu yang relatif singkat tidak akan berubah; tetapi secara diakronik, yakni dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan bisa berubah. Perubahan terjadi sebagai akibat dari penggunaannya, bisa bersifat total, berubah menyempit, atau berubah meluas.
Menurut Suhardi (2015:117) Perubahan makna adalah gejalah pergantian rujukan dari simbol bunyi yang sama. ini berarti dalam konsep perubahan makna terjadi pergantian rujukan yang berbeda dengan rujukan semula.
Berdasarkan penjelasan di atas maka, menurut penulis, perubahan makna leksikal adalah gejala pergantian makna kata yang baru dari makna kata yang dahulu berdasarkan kurun waktu tertentu.
Berbagai referensi semantik telah membahas perubahan makna, tetapi bukan berarti telah mencakup secara keseluruhan karena mengingat pengguna bahasa yang semakian kreatif dalam berbahasa, semakin berkembang pula makna-makna bahasa terutama pada makna kata. Olehnya itu, pembahasan ini akan penulis menyelidiki perubahan makna leksikal dewasa ini dengan cara berikan contoh-contoh disertai penjelasannya secara deskriptif. Tak lupa pula, penulis menyertakan contoh-contoh yang sudah terlebih dahulu dibahas untuk menguatkan  tulisan ini.
Tarigan (2009:78) menjelaskan ada enam jenis perubahan makna leksikal yaitu: (1) Generalisasi atau perluasan; (2) Spesialisasi atau penyempitan; (3) Ameliorasi atau peninggian; (4) Peyorasi atau penurunan; (5) Sinestesia atau pertukaran; dan (6) Asosiasi atau persamaan.

1.    Generalisasi

Generalisasi atau perluasan adalah suatu proses perubahan makna kata dari yang lebih khusus kepada yang lebih umum, atau dari yang lebih sempit kepada yang lebih luas. Dengan kata lain, bahwa cakupan makna pada masa kini lebih luas daripada makna pada masa lalu. Secara lebih singkat, makna baru lebih luas daripada makna lama atau makna dulu (Tarigan, 2009:79).
Contoh:
‘Kitab suci adalah fiksi’. Pernyataan ini diucapkan oleh Rocky Gerung di Acara ‘Indonesia Lawyers Club” yang ditayangkan stasiun TVOne (10/04/08). Apa makna dari kata ‘fiksi’ dari pernyataan di atas yang menyandingkannya dengan ‘kitab suci’? Menurut Rocky, ‘fiksi’ itu kata benda (nomina), literatur. Kata benda atau literatur inilah Rocky menghubungkannya dengan fiksi. Dan dengan dasar itulah beliau mengatakan fungsi dari fiksi adalah untuk mengaktifkan imajinasi. Artinya menusia berimajinasi tentang masa depan hidupnya berdasarkan kitab suci itu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata fiksi tidak artikan sebagai sesuatu yang dibangun atas dasar khayalan manusia, melainkan didasarkan atas kenyataan. Berbeda dengan pengertian di atas, dalam KBBI luring memaknai fiksi cerita rekaan, khayalan, tidak bersifat nyata. Berdasarkan penjelasan di atas, maka makna kata ‘fiksi’ lebih luas daripada makna yang selama ini kita ketahui.
Pateda (2010: 184) memberikan contoh-contoh disertai penjelasan mengenai makna generalisasi, sebagai berikut:
Kata-kata ‘bapak, ibu, saudara’ dahulu digunakan untuk menyebut orang yang betalian darah dengan kita. Kata ‘saudara’ dihubungkan dengan kakak atau adik yang seayah dan seibu dengan kita. Kata ‘bapak’ selalu dihubungkan dengan orang tua laki-laki, dan kata ‘ibu’ selalu dihubungkan dengan orang tua perempuan. Kini kata ‘bapak, ibu, saudara’ telah meluas maknanya, meskipun tidak ada hubungan atau pertalian darah dengan kita. Kita bisa mengatasnamakan ‘saudara-saudara yang saya hormati’, ‘bapak Walikota’, ‘ibu Gubernur Riani. Dengan kata lain, kata-kata ini menjadi sapaan.
2.    Spesialisasi
Proses spesialisasi atau pengkhususan penyempitan mengacu kepada suatu perubahan yang mengakibatkan makna kata menjadi lebih khusus atau lebih sempit dalam aplikasinya. Kata tertentu pada suatu waktu dapat diterapkan pada suatu kelompok umum, tetapi belakangan mungkin semakin terbatas atau kian sempit dan khusus dalam maknanya. Dengan kata lain, cakupan makna pada masa lalu lebih luas daripada masa kini (Tarigan, 2009:81)
Contoh:
Kata ‘bini’. Dulu, makna kata ini digunakan untuk apa dan siapa saja yang berhubungan dengan proses kehamilan; cakupannya umum. Tetapi sekarang makna kata ‘bini’ sudah bermakna khusus, yaitu khusus digunakan untuk hewan.
Chaer (2007:135) memberikan contoh, kata ‘sarjana’ dulu memiliki makna orang pandai, atau ‘cendekiawan’. Tetapi sekarang hanya bermakna ‘orang yang lulus dari perguruan tinggi. Kini orang yang pandai bagaimanapun apabila tidak pernah lulus dari sebuah perguruan tinggi tidaklah disebut sarjana. Sebaliknya, betapapun jeleknya pengetahuan seseorang, kalau lulus dari sebuah perguruan tinggi, dia disebut sarjana. Contoh lain, kata ‘pendeta’ dulu bermakna ‘orang yang berilmu’, tetapi sekarang hanya bermakna ‘guru agama Kristen’.
3.    Ameliorasi
Kata ameliorasi (yang berasal dari bahasa latin melior ‘lebih baik’) berarti ‘membuat menjadi lebih baik, lebih tinggi, lebih anggun, lebih halus’. Dengan kata lain, perubahan amelioratif mengacu kepada peningkatan makna kata; makna baru dianggap lebih baik atau lebih tinggi nilainya daripada makna dulu (Tarigan, 2009:83)
Contoh:
Kata ‘istri’ dan ‘bini’. Kedua kata ini memiliki makna yang sama yaitu wanita yang sudah dinikahi, atau wanita yang sudah bersuami. Tetapi, penggunaan kata ‘bini’ di masa kini dianggap rendah nilainya dibanding ‘istri’. Dengan kata lain, kata ‘istri’ lebih tinggi, lebih anggun, dan lebih halus digunakan. Selanjutnya kata ‘hamil’ dan ‘bunting’. Kedua kata ini memiliki makna yang sama yaitu perempuan dalam keadaaan mengandung anak dalam perutnya. Tetapi sekarang, kata ‘bunting’ tidak boleh digunakan untuk menyandingkan dengan wanita (manusia), tetapi disandingkan adalah kata ‘hamil’.
Contoh selanjutnya, kata ‘mati’. Dahulu, kata ‘mati’ tidak begitu dipersoalkan untuk disandingkan secara umum. Tetapi sekarang kata ‘mati’ tidak cocok disandingkan dengan manusia, sehingga digantikan dengan kata ‘meninggal’. Karena kata ‘meninggal’ dinilai lebih tinggi dan lebih halus.
4.    Peyorasi
Peyorasi adalah suatu proses perubahan makna kata menjadi lebih jelek atau lebih rendah daripada makna semula. Kata ‘peyorasi’ berasal dari bahasa Latin ‘pejor’ yang berarti ‘jelek’, buruk. Sebagai contoh, kita ambil kata ‘tuli’ yang dulu tidak dirasakan mengandung makna jelek, tetapi pada masa kini dirasakan kurang baik, kurang sopan, dan terasa kasar (Tarigan, 2009:85)
Contoh:
Kata ‘penjara’. Penjara adalah tempat orang-orang menjalani hukuman. Makna ‘penjara’ itu tidaklah menjadi persoalan, hanya saja, setiap orang yang mendengar kata ‘penjara’ pasti yang disandingkan adalah ‘kekerasan’. Sehingga bernilai kurang baik. Dengan demikian, muncullah kata ‘lembaga kemasyarakatan’ sebagai pengganti kata ‘penjara’.
Contoh selanjutnya, kata ‘bunting’. Dahulu kata ‘bunting’ dianggap biasa saja atau sah secara umum. Tetapi sekarang dianggap buruk apabila disandingkan dengan manusia. misalnya kalimat ‘perut istrimu sudah bunting ya?’.
5.    Sinestesia
Sinestetia adalah perubahan makna yang terjadi akibat pertukaran tanggapan antara dua indera yang berbeda (Tarigan, 2009:88)
Di dalam penggunaan bahasa banyak terjadi kasus pertukaran tangapan indera. Contoh, kata ‘pedas’ dan ‘manis’ yang seharusnya ditanggapi oleh alat perasa lidah menjadi ditanggapi oleh telinga seperti tampak dalam kalimat ‘kata-katanya cukup pedas’ atau ‘ucapannya memang terdengar manis’. Selanjutnya, kata ‘kasar’ yang seharusnya ditanggapi oleh alat perasa pada kulit menjadi ditanggapi oleh alat indera mata seperti dalam kalimat ‘tingkah lakunya tampak kasar’; atau bisa juga ditanggapi oleh alat indera telinga seperti dalam kalimat ‘kata-katanya memang kasar. Contoh lain, ‘warnanya sejuk sekali;  sikapnya  dingin kepadamu; suaranya terasa berat; lukisannya itu sangat ribut; bentuknya memang manis (Chaer, 2007:144). Inilah yang disebut sinestetia.
6.    Asosiasi
Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi sebagai akibat persamaan sifat (Tarigan, 2009:90).
Lebih rinci, Selamet Muljana (1964:25, dalam Pateda, 2010:178) mengatakan, yang dimaksud dengan asosiasi adalah hubungan antara makna asli, makna di dalam lingkungan tempat tumbuh semula kata yang bersangkutan dengan makna yang baru; yakni makna di dalam lingkungan tempat kata itu dipindahkan ke dalam pemakian bahasa. Antara makna lama dan maknanya yang baru terdapat pertalian erat. Makna leksikal kata asosiasi yakni: 1) persatuan antara rekan usaha; persekutuan dagang; 2) perkumpulan orang yang mempunyai kepentingan bersama; 3) tautan dalam ingatan pada orang atau barang lain; pembentukan hubungan atau pertalian antara gagasan, ingatan, atau kegiatan pancaindera (Depdikbud, 1993:61, dalam Pateda, 2010:179)
Contoh:
Asosiasi yang berhubungan atau pertalian gagasan, dan ingatan. Mengingatkan penulis pada kata ‘mari’. Kata ‘mari’ bermakna seru untuk menyatakan ajakan. Misalnya ‘mari ikut saya!’. Tetapi kata ‘mari’ yang diasosiasikan masyarakat Jawa adalah ‘permisi’. Misalnya, ketika sedang berjalan dan dikiri jalan ada orang, maka saya mengatakan ‘mari, Pak/Bu!’. Atau Ketika saya selesai belanja di kios, dan ketika mau pergi, saya harus mengatakan ‘Mari Pak/Bu! Makna kata ‘mari’ tersebut merupakan perubahan makna akibat asosiasi, yaitu asosiasi dari masyarakat Jawa.
Makna asosiasi dapat dihubungkan dengan tempat atau lokasi. Contoh, saat kita berada kampus Pascasarjana UNNES (Universitas Negeri Semarang), dan tiba-tiba salah satu teman mengajak dengan berkata ‘Yuk, kita ke kampus Sekaran!’, pasti kita mengetahui maksud ‘kampus sekaran’ yaitu Kampus UNNES yang berada di kelurahan Sekaran. Jadi maksud tidak mengacu ke tempat tetapi apa yang ada di sana. Inilah yang disebut makan asosiasi. Lain hal jika teman kita yang bukan Mahasiswa UNNES atau dengan kata lain tidak berasosiasi dengan kita, pasti kebingungan mendengar “kampus Sekaran”.
Makna asosiasi dapat dihubungkan warna. Contoh, ketika kita berkedara, kemudian diperempatan jalan terdapat lampu lalu lintas berwarna merah, maka kemerahan itu bermaksud bahwa kita harus berhenti. Selanjutnya, jika kita melewati sebuah rumah yang berkumpul banyak orang dan di depan rumah itu terdapat bendera putih, maka bendera putih itu bermaksud ada yang meninggal.
Pateda (2010: 179) memberikan contoh-contoh disertai penjelasan mengenai makna asosiasi, sebagai berikut:
Dalam BI (Bahasa Indonesia) terdapat kata ‘amplop’. Kalau kita mengurus sesuatu di kantor dan kemudian teman kita berkata ‘ beri dia amplop’ maka asosiasi kita bukan lagi amplop yang berfungsi sebagai sampul surat, tetapi ‘amplop’ yang berisi uang; uang pelacur, uang pelicin, uang sogok. Menurut Chaer (2013:135), asosiasi antara ‘amplop’ dan ‘uang’ ini adalah berkenaan dengan wadah. Jadi, menyebut wadahnya yaitu amplop, tetapi maksud adalah isinya, yaitu uang.
Secara kasar teman kita itu berkata, ‘berilah dia uang agar urusanmu segera selesai’. Selanjutnya, kalau kita makan di warung, sering kita berkata ‘sepiring lagi’ atau ‘segelas lagi, Bu!’ yang kita maksud bukan piring atau gelas tanpa isi, tetapi yang kita maksud adalah nasi, bakmi, nasi goreng, atau gado-gado, sesuai dengan makanan yang kita pesan; dan kalau dihubungkan dengan gelas, maka yang kita maksud adalah es, kopi atau teh, sesuai dengan minuman yang lebih dahulu kita pesan. Di sini terjadi asosiasi antartempat dan isi. selain itu, makna asosiasi dapat dihubungkan dengan waktu atau peristiwa. Tanggal 17 Agustus hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Namun kadang-kadang kita berkata ‘mari kita bertujuh belasan di Bandung’. Di sini yang dimaksud bukan peristiwanya, tetapi bergembira, merayakan peristiwa tersebut.
Perubahan makna yang telah dibahas itu, bukanlah hal yang kebetulan, melainkan ada faktor-faktornya. Berdasarkan itu, Ullmann (1972: 198-210, dalam Pateda, 2010:163-168) mengindentifikasi faktor-faktor perubahan makna sebagai berikut:
1.    Faktor kebahasaan
Perubahan makna karena faktor kebahasaan berhubungan dengan fonologi, morfologi, dan sintaksis. Misalnya kata “sahaya’ yang pada mula maknanya dihubungkan dengan ‘budak’; tetapi karena berubah menjadi saya, maka kata selalu dihubungkan dengan orang pertama terhormat, contohnya dalam kalimat ‘saya akan pergi ke kampus’. Orang tidak menghubungkan dengan kata budak. Dengan kata lain, makna berubah.
2.    Faktor kesejarahan
Faktor kesejarahan dapat dirinci karena: (1) faktor objek; (2) faktor institusi; (3) faktor ide; (4) faktor konteks ilmiah. Perubahan makna karena faktor kesejarahan berhubungan dengan perkembangan kata. contohnya kata ‘wanita’ yang sebenarnya berasa dari kata ‘betina’. Kata betina dalam perkembangannya menjadi ‘batina’. Lalu fonem /b/ berubah menjadi /w/ sehingga menjadi wanita. Kata wanita berpadanan maknanya dengan kata perempuan. Kini, orang tidak menghubungkan makna kata wanita dengan hewan, tetapi dengan “objek”.
Faktor institusi, contohnya dalam BI terdapat kata ‘rukun’, seperti urutan kata ‘rukun tetangga’ dan ‘rukun warga’. Dahulu, urutan kata tersebut dihubungkan dengan ‘kerukunan antara warga’. Kini pengertian itu menjadi institusi resmi. Maknanya bukan khusus mengenai soal kerukunan, tetapi sudah lebih luas dari itu.
Faktor ide, contohnya, kata ‘simposium’ idenya untuk bergembira, yakni duduk-duduk di restoran sambil minum, makan, dan berdansa. Kini ide itu berubah menjadi pertemuan ilmiah untuk membicarakan sesuatu dalam disiplin ilmu tertentu.
Faktor konsep ilmiah, contohnya, kata ‘folt’. Dahulu, kata volt dikaitkan dengan nama penemunya, yakni Allessandro Voltras, orang Italia yang hidup antara tahun 1745-1827. Kini makna itu lebih ditekankan pada satuan potensial listrik yang diperlukan untuk mengalirkan satu ampere arus listrik melalui satu ohm, misalnya dalam kalimat ‘voltase aliran listrik di rumahmu harus ditambah.
3.    Faktor sosial
Perubahan makna yang disebabkan oleh faktor sosial dihubungkan dengan perkembangan makna kata dalam masyarakat. Contoh, kata ‘gerombolan’ yang pada mula bermakna orang yang berkumpul atau kerumunan orang, tetapi kemudian kata ini tidak disukai lagi sebab selalu dihubungkan dengan ‘pemberontak’ atau pengacau.
4.    Faktor psikologis
Perubahan makna karena faktor psikologis dirinci atas: (1) faktor emotif; (2) kata-kata tabu yang dapat dirinci atas: tabu karena takut, tabu karena menginginkan kehalusan kata, tabu karena ingin dikatakan sopan.
5.    Pengaruh bahasa asing
Perubahan bahasa yang satu terhadap bahasa yang lain tidak dapat dihindarkan. Hal itu disebabkan oleh interaksi antara sesama bangsa. Itu sebabnya pengaruh bahasa asing terhadap BI juga tidak dapat dihindarkan. Pengaruh itu misalnya berasal dari bahasa Belanda ‘aandeel’ (andil,saham); ‘aanemer’ (anemer, pemborong); ‘belasting (pajak) dll. Selanjutnya, perubahan makna karena perubahan bahasa asing, contohnya kata ‘keran’ yang berasal dari bahasa Inggris ‘crank’ yang kemudian dalam BI bermakna keran, pancuran air leding yang dapat dibuka dan ditutup.
6.    Kebutuhan kata yang baru
Perubahan makna karena faktor kebutuhan terhadap kata baru dapat dijelaskan dari segi kebutuhan pemakai bahasa. telah diketahui bahwa pemikiran manusia berkembang terus sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan tersebut membutuhkan nama atau kata baru, karena bahasa adalah alat komunikasi. Kadang-kadang konsep baru itu belum ada lambangnya. Dengan kata lain, manusia berhadapan dengan ketiadaan kata atau istilah baru untuk mendukung pemikirannya. Misalnya karena bangsa Indonesia merasa kurang enak menggunakan kata ‘saudara’ maka muncullah kata ‘anda’.
Selain itu, Ullmann (1972:192-197, dalam Pateda, 2010:162-163) menyebut beberapa hal sebagai penyebabnya. Sebagi berikut:
1.    Bahasa itu berkembang, atau bahasa itu diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam perkembangan ini makna kata-kata tertentu mengalami perubahan. Contoh, dalam BI terdapat kata ‘juara’. Dahulu kata ‘juara’ bermakna orang yang memimpin penyabungan ayam. Kini makna kata juara selalu dihubungkan dengan orang yang mendapat peringkat dalam perlombaan atau pertandingan.
2.    Kekaburan makna, atau samar-samar maknanya. Contoh, kata ‘alot’. Apakah makna kata alot? Kata alot bermakna ‘liat atau tidak,  mudah putus’. Dalam dialek Jakarta, kata alot bermakna keras, kenyal, misalnya daging, dan dalam bahasa Jawa, kata alot bermakna liat (tentang daging). Jika dihubungkan makna kata ‘liat’ dengan urutan kata ‘tanah liat’  kelihatannya tidak sesuai. Dengan kata lain, makna kata liat samar-samar. Dewasa ini kata ‘alor’ bermakna pula ‘lambat, pelan’, misalnya dalam kalimat ‘ pembahasan rancangan undang-undang itu alot’. Dalam kata alot dewasa ini dengan kata alot sebelumnya berbeda.
3.    Kehilangan motivasi, contohnya dalam BI terdapat kata ‘ajang’ yang bermakna ‘tempat untuk makan’ sesuatu, misalnya piring. Kini, makna kata itu lebih banyak dihubungkan dengan tempat juga, tetapi bukan untuk makan, contohnya, ‘ajang pertempuaran’.
4.    Adanya kata-kata yang bermakna ganda. Contohnya, kata ‘lempung’ yang bermakna : (1) ringan atau lunak dan mudah patah, misalnya kayu; (2) lemah sekali; (2) tidak berguna sedikitpun.
5.    Dalam konteks yang membingungkan, contohnya kata-kata yang terdapat dalam kalimat ‘ini baru mi’. Apakah yang dimaksud menunjuk pada ‘baru mi’, atau ‘inilah mi yang sesungguhnya?’. Demikian pula kalau orang mengatakan ‘anak anjing Abdullah mati kemarin’. Siapa yang mati? Dengan kata lain, konteks kalimat ini membingungkan.
6.    Struktur kosa kata. telah diketahui bahwa bunyi-bunyi suatu bahasa dan sistem sistem gramatikalnya terbatas , tetapi kata-kata bertambah terus sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa. dalam perkembangan kosa kata ini, tentu saja ada kata baru, tetapi ada pula kata yang hanya berubah maknanya

Simpulan
Perubahan makna leksikal terdiri atas enam jenis yaitu: (1) Generalisasi atau perluasan; (2) Spesialisasi atau penyempitan; (3) Ameliorasi atau peninggian; (4) Peyorasi atau penurunan; (5) Sinestesia atau pertukaran; dan (6) Asosiasi atau persamaan. Selain itu, faktor-faktor perubahan makna leksikal adalah: (1) Faktor kebahasaan; (2) Faktor kesejarahan; (3) Faktor sosial; (4) Faktor psikologis; (5) Pengaruh bahasa asing; (6) Kebutuhan kata yang baru.

Daftar Pustaka
Tarigan, Prof. Dr. Henry Guntur. 2009. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa
Pateda, Prof. Dr. Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi & Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Lyons, John. 1995. Pengantar Teori linguistik. Diindonesiakan oleh Soetikno. Jakarta: Gramedia
Suhardi, M.Pd. 2015. Dasar-Dasar Ilmu Semantik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Chaer, Abdul. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta


Komentar

  1. Pembaca yang baik meninggalkan komentar (pertanyaan, kritik, saran, tanggapan, dll). terima kasih

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Peristiwa Tutur Menggunakan Teori "Speaking" Dell Hymes

ANALISIS PERISTIWA TUTUR MENGGUNAKAN TEORI " SPEAKING " DELL HYMES Penulis: Rafli Marwan ( Mahasiswa Pascasarjana  Pendidikan Bahasa Indonesia  Universitas Negeri Semarang) Penulis menjelaskan terlebih dahulu komponen-komponen teori  SPEAKING Dell Hymes berdasarkan beberapa referensi. Dell Hymes  Setelah itu, penulis memberikan contoh peristiwa tutur kemudian menganalisis berdasarkan komponen-komponen SPEAKING Dell Hymes. I. Konsep SPEAKING   Dell Hymes Dell Hymes (1972) merumuskan komponen peristiwa tutur yang kemudian diakronimkan menjadi   SPEAKING, yaitu (S) Setting and scene , (P) Participants, (E) End, (A) Act sequence, (K) Key, (I) Instrumentalities, (N) Norms of interaction and interpretation, (G) Genre. berikut penulis menjelaskan disertai perbedaan-perbedaan pemahaman. 1.     Setting and scene (latar dan suasana) . Setting atau latar lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara scene adalah latar psik

“Simbolisasi Makanan Adat Ternate Dalam Tradisi Tahlilan” (Sebuah Kajian Makna)

PENDAHULUAN      Ternate merupakan sebuah sumber tradisi lisan yang tercermin dalam sebuah kebudayaan. Kekayaan dari tradisi-tradisi tersebut menjadikan Ternate menjadi ikon sejarah dan budaya yang dikenal dikancah dunia, demikian dengan Maluku Kie Raha secara umum. kekayaan sebuah simbolisasi menghadirkan perhatian bagi masyarakat luas. Karena Leslie White ( dalam Ratna,2011:13) kebudayaan dan peradaban tergantung pada simbol. Kemampuan dalam menggunakan simbollah yang dapat melahirkan dan mempertahankan kebudayaan. Sastra lisan yang juga bagian dari tradisi lisan telah mengingatkan manusia akan sebuah kehidupan masa lalu serta menjadikan para leluhur sebagai titik tolak eksistensi hubungan manusia dengan sesamanya, dengan alam, serta   maha pencipta alam semesta. Mengapa demikian, karena praktik-praktik sebuah masa lalu syarat dengan sebuah makna yang terindikasi pada nilai-nilai moral, serta pesan-pesan yang bernafaskan islam.     Makanan ada

Sastra Lisan Ternate: antara Dalil Tifa dan Moralitas Masyarakat Ternate

Dalil Tifa dan Moralitas Masyarakat  Ternate (Artikel ini ditulis ketika itu Kota Ternate sedang kehilangan aura relegiusitasnya. dan bukan hanya ketika itu, hari ini pun demikian) Dewasa ini, tragedi kemanusiaan semakin membara, sejarah kemanusiaan memberikan eksistensi manusia masa kini sebagai perebutan kekuasaan. Segi perebutan kekuasaan ini, menyeluruh hingga ke penjuruh dunia.   Setiap kelompok dominan mengklaim dari sisi agama bahwa mereka yang paling benar berdasarkan keyakinannya. Begitu pula kelompok-kelompok etnis, mengejar ketertinggalan atas dasar warisan sejarah. Politik dewasa ini mengikutsertakan, walaupun dipandang sampah yang busuk, namun tetap di daur ulang oleh pelaku itu sendiri. kehidupan tak lagi sudi bersama manusia, krisis ekonomi, konflik-konflik berkepanjangan yang berujung saling membunuh. belum lagi konsumsi minuman keras, judi, kekerasan dan lain-lain, bahkan bidang pemerintahan, wakil rakyat dan para pemerintah diduga kurupsi.  Hal ini karena M